.
A. Pengertian Mandi Junub
Mandi
junub atau mandi wajib atau mandi besar adalah mandi yang diwajibkan bagi umat
islam apabilah sedang dalam keadaan berhadas besar.Tujuannya adalah untuk
menyucikan diri agar dapat melakukan ibadah wajib seperti shalat. Mandi junub
wajib hukumnya laki-laki maupun perempuan muslim yang telah dewasa atau telah
memasuki masa baligh dan mengalami salah satu hal berikut ini.
a.
Penyebab
di wajibkannya Mandi Junub
Ada
enam hal yang mewajibkan seseorang untuk melakukan mandi wajib. Tiga hal ada
pada kaum pria dan wanita sedangkan tiga hal lainnya khusus pada kaum wanita.
3 (Tiga) hal yang ada pada kaum
pria dan wanita adalah :
1. Pertemuan
dua kemaluan antara laki-laki dan perempuan (jima’).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seseorang duduk
diantara anggota tubuh perempuan yang empat, maksudnya; diantara dua tangan dan
dua kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib baginya mandi, baik mani itu
keluar atau tidak.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Diriwayatkan
dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua kemaluan telah
bertemu maka wajib baginya mandi. Aku dan Rasulullah saw pernah melakukannya
maka kami pun mandi.” (HR. Ibnu Majah)
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani
bisa dibedakan dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1]
baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika
kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur
(lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut
mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita
tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An
Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi
adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al
Maidah: 6)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena
keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama,
yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan
memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut
keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada
kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap
bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak,
maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah
pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Lalu bagaimana dengan orang yang
mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam
(mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi
yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi
mendapatkan sesuatu yang basah.”
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
سُئِلَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ
يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ
احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ
سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ».
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia
tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga
ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan
dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no.
236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih
kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ
إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ
إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib
mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika
dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib
itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar
(dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada
saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan
lebih dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika
seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar
atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik
ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang
terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ
جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan
istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh
kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no.
348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ
يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
إِنَّ
رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ
أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا
وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi
istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi?
Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan
wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian
kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat
pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa
si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu
tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al
Asqolani dalam Fathul Bari.
Ketika menjelaskan hadits Abu
Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits
tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan
tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita,
maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini
tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah
pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’
(kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan
tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”
2. Keluarnya
mani.
Diriwayatkan
dari Abu Sa’id berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Mandi diwajibkan dikarenakan
keluar air mani.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Ummu Salamah
bahwa Ummu Sulaim berkata,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu
tentang masalah kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila dia bermimpi? Nabi
saw menjawab,’Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhori Muslim dan lainnya)
Dalam hal keluarnya air mani, Sayyid Sabiq
mengatakan :
a. Jika mani keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau cuaca
dingin, maka ia tidak wajib mandi.
b. Jika seseorang bermimpi namun
tidak mendapatkan air mani maka tidak wajib baginya mandi, demikian dikatakan
Ibnul Mundzir.
c. Jika seseorang dalam keadaan sadar (tidak tidur) dan mendapatkan
mani namun ia tidak ingat akan mimpinya, jika dia menyakini bahwa itu adalah
mani maka wajib baginya mandi dikarenakan secara zhohir bahwa air mani itu
telah keluar walaupun ia lupa mimpinya. Akan tetapi jika ia ragu-ragu dan tidak
mengetahui apakah air itu mani atau bukan, maka ia juga wajib mandi demi
kehati-hatian.
d. Jika seseorang merasakan akan keluar mani saat memuncaknya
syahwat namun dia tahan kemaluannya sehingga air mani itu tidak keluar maka
tidak wajib baginya mandi.
e. Jika seseorang melihat mani pada kainnya namun tidak mengetahui
waktu keluarnya dan kebetulan sudah melaksanakan shalat maka ia wajib mengulang
shalatnya dari waktu tidurnya terakhir.. (Fiqhus Sunnah juz I hal 64 – 66).
3. Kematian.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra
bahwasanya Rasulullah saw bersabda dalam keadaan berihram terhadap seorang yang
meninggal terpelanting oleh ontanya,”Mandikan dia dengan air dan daun bidara.”
(HR.Bukhori Muslim)
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di
antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu
‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,
اغْسِلْنَهَا
ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ
وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur
dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap
perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR.
Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Sedangkan 3 (tiga) lainnya yang
khusus pada kaum wanita adalah :
1. Haid.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya : “Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah
suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)
Sabda Rasulullah saw kepada
Fatimah binti Abu Hubaisy ra adalah,”Tinggalkan shalat selama hari-hari engkau
mendapatkan haid, lalu mandilah dan shalatlah.” (Muttafaq Alaih)
2. Nifas.
Nifas adalah
seperti haidh dan mewajibkannya mandi, demikian menurut jumhur ulama.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah
binti Abi Hubaisy,
فَإِذَا
أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ
الدَّمَ وَصَلِّى
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu
meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan
mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan
haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan
di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan
hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat
ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah
nifas.”
3.
Melahirkan.
Jika seorang
melahirkan dan tidak mengeluarkan darah maka terjadi perbedaan pendapat apakah
wajib baginya mandi atau tidak. Namun Syeikh Taqiyuddin asy Syafi’i, pemilik
buku “Kifayatul Akhyar” mewajibkannya mandi.
“Ibnu
Qudamah mengatakan bahwa Apabila dua hal yang mewajibkan mandi bersatu seperti
haid dengan junub atau pertemuan dua kemaluan dengan keluarnya mani lalu ia
berniat keduanya dengan satu kali mandi saja maka itu dibolehkan, demikian
pendapat kebanyakan ulama, diantaranya Atho, Abuz Zanad, Robi’ah, Malik,
Syafi’i, Ishaq dan para pemikir.”
B. Rukun (yang wajib dikerjakan)
Untuk melakukan mandi janabah, maka
ada 3 hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok:
1. Niat.
Sabda Nabi SAW: Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya.
2.
Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan.
Menghilangkan najis dari badan
sesunguhnya merupakan syarat sahnya mandi janabah. Dengan demikian, bila
seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada
lagi najis yang masih menempel di badannya.
Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa
dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis
berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah.
3. Meratakan
Air Hingga ke Seluruh Badan.
Seluruh badan harus rata mendapatkan
air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai.
Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau
pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.
Sedangkan pacar kuku dan tato, tidak bersifat
menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari
masalah haramnya membuat tato.
C. Sunnah-sunnah dan Larangan dalam Mandi Junub:
Sunnah :
*Membaca
basmalah.
*Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air.
*Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW wudhu`
seperti wudhu` orang shalat. .
*Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan
seluruh anggota badan.
*Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu’.
Larangan :
Bagi mereka
yang sedang ber-junub, yaitu mereka yang masih berhadats
besar, tidak boleh melakukan hal-hal sbb.:
- Melaksanakan salat.
- Melakukan thawaf di Baitullah.
- Memegang Kitab Suci Al-Qur'an.
- Membawa atau mengangkat Kitab Suci Al-Qur'an.
- Membaca Kitab Suci Al-Qur'an.
- Berdiam diri di masjid.
Bagi mereka yang sedang haid, dilarang
melakukan hal-hal seperti tersebut di atas dan ditambah larangan sebagai
berikut :
- Bersenang-senang dengan apa yang antara pusat dan
lutut.
- Berpuasa baik sunnat maupun fardlu.
- Dijatuhi talaq (cerai).
D. Niat Mandi Junub Dan Tata Caranya
Adapun Tata Cara Mandi Wajib antara lain :
1. Niat
Sebelum memulai tentu setiap
pekerjaan di awali dengan niat, adapun lafadz Niat tersebut ada beberapa jenis
antara lain :
a. Mandi Dikarenakan Keluar Mani Dengan Sengaja, Mimpi basah, dan senggama maka
niat mandi besarnya adalah
“
BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITUL GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAL JANABATI
FARDLON LILLAHI TA’ALA “
Artiya Dengan menyebut nama Allah Aku niat mandi
untuk menghilangkan hadats besar dari jinabah, fardlu karena Allah Ta’ala
b.
Jika mandi besarnya disebabkan karena haid maka niat mandi besarnya adalah
“ BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITUL
GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAL HAIDI FARDLON LILLAHI TA’ALA “
Artinya Dengan menyebut nama Allah Aku niat mandi
untuk menghilangkan hadats besar dari haidl, fardlu karena Allah Ta’ala
c.
Jika mandi besarnya disebabab karena nifas, maka niyat mandi besarnya adalah
“ BISMILLAHI RAHMANI RAHIM NAWAITU
GHUSLA LIRAF’IL HADATSIL AKBAR MINAN NIFASI FARDHAN LILLAHI TA’ALA ”
Artinya Dengan menyebut nama
Allah Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari nifas, fardlu karena
Allah Ta’ala
2. Mencuci Kedua Telapak
Tangan
Setidaknya
aktifitas mencuci telapak tangan ini dilakukan setidaknya 2 (dua) sampai 3
(tiga) kali sebelum membasuh seluruh tubuh kita dengan air, hal ini dikuatkan
dengan riwayat Aisyah Radiallahu’anha yaitu :
“Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari
Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena janabat,
beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu
sebagaimana wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air
lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian
beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR Bukhari no. 240, Muslim
no. 474)
3. Mencuci Kemaluan
dengan Tangan Kiri dan kemudian menggosokkannya ke tanah
Setelah mencuci
telapak tangan hendak lah terlebih dahulu memcuci kemaluan dengan tangan kiri,
hal ini diriwayatkan oleh Maimunah Radiallahu ‘anha yaitu :
“Telah menceritakan kepadaku
Ali bin Hujras-Sa’di telah menceritakan kepadaku Isa bin Yunus telah
menceritakan kepada kami al-A’masy dari Salim bin Abi al-Ja’di dari Kuraib dari
Ibnu Abbas dia berkata, “Bibiku, Maimunah telah menceritakan kepadaku, dia
berkata, ‘Aku pernah membawa air mandi kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam karena junub, Lalu beliau membasuh dua tapak tangan
sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan ke dalam wadah
berisi air, lalu menyiramkan air tersebut ke atas kemaluan serta membasuhnya
dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kiri ke tanah dengan
pijatan yang kuat, lalu berwudhu sebagaimana yang biasa dilakukan untuk
mendirikan shalat. Kemudian beliau menuangkan air yang diciduk dengan dua
telapak tangan ke kepala sebanyak tiga kali sepenuh telapak tangan. Lalu beliau
membasuh seluruh tubuh, lalu beralih dari tempat tersebut dan membasuh kedua
kaki, kemudian aku mengambilkan handuk untuk beliau, tetapi beliau menolaknya.”
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ash-Shabbah, Abu Bakar bin Abi
Syaibah, Abu Kuraib, al-Asyajj, dan Ishaq semuanya dari Waki’ –lewat jalur
periwayatan lain–, dan telah menceritakan kepada kami tentangnya Yahya bin
Yahya dan Abu Kuraib keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu
Muawiyah keduanya dari al-A’masy dengan sanad ini, dan tidaklah dalam hadits keduanya
lafazh, “Menyiramkan air tiga kali sepenuh telapak tangan pada kepala.” Dan
dalam hadits Waki’ terdapat gambaran wudhu seluruhnya. Dia menyebutkan
berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Dan dalam hadits Abu Mu’awiyah
tidak menyebutkan handuk.” (HR. Muslim no. 476)
4. Berwudhu
Wudhu adalah
salah satu aktifitas yang menurut sebagian besar para ulama hukumnya sunnah,
namun ada beberapa perbedaan pendapat dari para ulama tentang tata cara
berwudhu dalam prosesi mandi junub, ada yang berpendapat bahwa saat
mandi wajib
mencuci kedua telapak kaki adalah untuk mengakhiri mandi junub. Namun di telaah
secara teliti berwudhu sempurna adalah wudhu yang dilakukan ketika hendak
shalat, namun dalam mandi junub terkadang mencuci kaki dalam wudhu dilakukan
saat akan mengakhiri mandi junub.
5. Menyela-nyela pangkal
rambut dan membasuhnya
Rasulullah
melaksanakan mandi junub/mandi besar melakukan hal ini, Beliau memasukkan
jari-jari kedalam air dan menggosokkannya kepada kulit kepala. ini dimaksudkan
bahwa Beliau mempergunakan air untuk membasahi kulit kepala agar semua bagian
tubuh terkena air
mandi wajib.
setelah itu Rasulullah menuangkan air ke kepala beliau setidaknya tiga kali.
hal ini diriwayatkan oleh Aisyah Radiallahu ‘anha yaitu
“Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari
Hisyam bin ‘Urwah dari Bapaknya dari ‘Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena janabat,
beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu
sebagaimana wudlu untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air
lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian
beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari No. 240)
6. Mandi dan mencuci
Kaki
Pada bagian
akhir ini setelah menyela rambut dan membasuhnya kita kemudian mandi seperti
mandi pada umumnya namun perlu di ingatkan bahwa mandi junub diwajibkan agar
air mengenai seluruh permukaan tubuh, setelah itu kemudian mencuci kaki
“Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Yahya at-Tamimi telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari
Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah dia berkata, “Dahulu apabila
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam mandi hadas karena junub, maka beliau
memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan
menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh
kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram
rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika
selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh
tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki. Dan telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa’id dan Zuhair bin Harb keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Jarir –lewat jalur periwayatan lain–, dan telah menceritakan kepada
kami Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir –lewat jalur
periwayatan lain–, dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair semuanya dari Hisyam dalam sanad ini, dan
dalam lafazh mereka tidak ada ungkapan, ‘Membasuh kedua kakinya’, dan telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada
kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Aisyah
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena junub, maka beliau memulainya
dengan mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian menyebutkan
sebagaimana hadits Abu Mu’awiyah, namun tidak menyebut, ‘membasuh kedua
kakinya.” (HR. Muslim no. 474).