Tak banyak yang menyangka, peti kemas dapat disulap menjadi sebuah sekolah sederhana namun memiliki jutaan ilmu di dalamnya. Dengan cat yang penuh warna warni, membuat banyak orang berdecak kagum. Peti kemas itupun berjejer rapi hingga nampak seperti bangunan sekolah bertingkat tiga.
Di dalam peti kemas inilah, puluhan anak jalanan menuntut ilmu. Meski berada di pinggir jalan raya yang tak jauh dari Terminal Depok, tak banyak diketahui orang. Oleh pendirinya, sekolah ini diberi nama Master, kependekan dari Sekolah Masjid Terminal.
"Berawal dari perkumpulan masjid yang saat itu berada di dalam pelataran terminal Depok yang diketuai oleh Pak Nurrohim juga ada Pak Purwandiono, Pak Masruhin dan Pak Masud. Akhirnya muncul lah Sekolahan Master Indonesia yang berdiri sejak 28 Oktober 2000 yang di bawah naungan Yayasan Bina Insan Mandiri," ujar salah satu relawan sekolah anak jalanan, Sugeng Ryanto di Depok, Kamis (5/2).
Sekolah ini juga memberikan pelajaran seperti sekolah umum lainnya, yakni pelajaran berbahasa Inggris, matematika dan berbagai keterampilan lainnya seperti otomotif, olahraga dan sebagainya. Dengan demikian, setiap anak bisa mengembangkan potensi dan bakatnya nya masing-masing.
"Seiring berjalannya ini yang sudah 14 tahun Sekolah Master Indonesia mulai berkembang dengan kontribusi dan partisipasi dari masyarakat secara individu maupun instansi yang memberi bantuan dan kepedulian pendidikan di sekolah. Di Master juga ada pembekalan otomotif, mengaji. Di sini mereka mengembangkan potensi, bakat, berekpresi mengembangkan keunikan mereka sendiri untuk berkembang dan seterusnya," papar Sugeng.
Kegiatan positif sekolah Master ini dirasakan benar oleh Maulana (18). Remaja asal Bogor ini kabur dari rumahnya karena kerap dipukuli orangtuanya, dan terdampar sebagai anak jalanan. Agar mampu bertahan hidup, dia memilih profesi sebagai pengamen dan hasilnya cukup untuk membeli makan dan minum.
"Saya di sini dari kecil, saya di sini 5 tahun, sebelumnya di Bogor ngamen di angkot, sebelum di angkot saya di kereta Bogor-Kota. Ngamen dapet Rp 10 ribu sehari, duitnya buat jajan. Ibu saya di Bogor, saya kabur dari orangtua karena saya dipukuli, akhirnya saya kabur ke Master," aku Maulana.
Lain halnya dengan Awal (12), dia bergabung bersama Master sejak 6 tahun lalu. Sebelum bergabung, dia sempat berjualan kantong kresek di Masjid Istiqlal.
"Sebelum sini, saya di Jakarta, di Masjid Istiqlal jualan kantong kresek. Duit yang saya dapet dicelengin sampai sekarang. Duit dicelengin buat beli sepatu bola, cita-cita saya jadi pemain bola," ungkap Awal.
0 komentar:
Post a Comment